Senin, 09 Desember 2013

Persepsi

           Dia datang lagi. Nampaknya pegawai baru yang akan selalu naik angkot yang sama. Angkot yang kutawarkan kepada pejalan kaki yang melintas, meski banyak angkot dengan jurusan yang sama yang ngetem di sepanjang jalan itu. Modal kerjaku tak perlulah ilmu. Hanya suara lantang yang semoga tak kunjung habis. Dengan uang yang kudapat, sesekali kubelikan minuman yang mampu membuatku terbang melayang. Sekedar membuatku lupa kepada kenyataan. Kalau lapar, ya kubelikan makanan seadanya. Yang penting terganjal perut ini.
            Tepat seperti yang kupikirkan. Wanita muda itu memang naik angkot yang kutawarkan dengan suara keras-keras setiap hari. Dia berbeda. Lumayan manis, tapi sombong. Pernah sekali aku nebeng naik angkot yang kutawarkan itu. aku duduk berseberangan dengannya. Dia suka duduk di pojok belakang. Aku merasa kalau dia jijik kepadaku. Tampilanku memang kumal. Kulitku sawo matang. Badanku kurus. Beberapa gelang karet memeluk pergelangan tanganku. Dan aku tak pakai minyak wangi. Mungkin dia jijik.
            Aku berjodoh dengannya atau bagaimana. Kami bertemu di angkot jurusan lain. Angkot yang bukan menjadi sumber penghasilanku. Aku tak berteriak-teriak dan menawarkan orang-orang untuk naik. Aku hanya nebeng. Aku bohong. Aku memang berniat mengikutinya. Hanya ingin tahu saja rumahnya dimana. Hm, dia turun di suatu pertigaan. Aku tak begitu jelas melihat rumahnya. “Mungkin juga yang itu.” pikirku. Selama perjalanan seangkot dengannya, aku masih merasa dia tak nyaman. Seperti jijik. Aku sempat senyum kearahnya, tapi dia tak balas senyumanku. Aku jadi terhina. Sombong sekali dia.
            Kali ini mungkin aku memang berjodoh dengannya. Kami bertemu lagi dipagi hari, saat waktu yang tidak kurencanakan untuk bertemu dengannya. Kali ini dia benar-benar menghindariku. Dia tak jadi duduk di belakang, malah ke depan untuk duduk di sebelah supir. Mungkin dia takut. Padahal aku tak berniat jahat. Dan itu mengubah segalanya. Wanita muda itu, sesekali naik angkot yang lain jika melihatku menawarkan angkot dengan jurusan yang sama, makanya, aku tak pernah benar-benar menawarinya naik. Terlanjur makan hati, dan jadi gengsi kepadanya. Hanya sesekali dia naik angkot yang kutawarkan. Dengan muka cuek se cuek cueknya. Sombong sekali dia.
            Aku masih berteriak-teriak mengajak orang yang lalu lalang naik angkot yang kutawarkan, saat kenyataannya, wanita muda itu memang mengatakan dari dalam angkot “Jorok banget sih.”


Karya Dyah Perwitasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar